Belitangzone. com - Wanita itu diculik. Disiksa dan disekap tiga hari. Tewas mengenaskan dengan peluru menembus lubang kemal uannya. Namanya Marsinah. Dia bukanlah penjahat, cuma seseorang buruh. Harus mati hanya dikarenakan menuntut gaji naik Rp 550. Sudah 23 th. kematiannya, kasusnya masih belum seutuhnya terungkap.
Marsinah bekerja di PT Catur Putra Surya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Satu pabrik yang memproduksi arloji. Awal th. 1993, Gubernur Jawa Timur keluarkan edaran berbentuk imbauan pada perusahaan untuk memberi kenaikan upah sebesar 20 % untuk karyawannya.
Tetapi PT CPS enggan menuruti imbauan ini. Beberapa buruh yang resah mengadakan tindakan menuntut upah layak dari Rp 1. 700 menjadi Rp 2. 250, sesuai dengan surat edaran Gubernur KDH TK I Jawa Timur No. 50 Th. 1992.
“Katanya ada kenaikan gaji, namun nyatanya gaji buruh mulai uang makan, transport dan dinas sore (kerja shift sore) itu tak dinaikan dari perusahaan. Yang pada akhirnya Mbak Marsinah mengajak kita-kita (buruh) untuk melakukan tindakan mogok kerja, ” kata Uus, seseorang rekan seperjuangan Marsinah, Sabtu (30/4) di kediamannya, di Malang, Jawa Timur.
Buruh membentuk tim kerja (koordinator) tindakan, yang jumlahnya 18 orang termasuk juga Marsinah dan Uus. Di kelompok ini Marsinah ditunjuk sebagai penimpin. Untuk 18 orang itu, Marsinah adalah sosok wanita pemberani. Setiap kali lakukan aksi, Marsinah selamanya ada di garis paling depan untuk menyuarakan orasinya. Tindakan mereka membuat perusahaan panas.
“Saya itu ikut semua, dari mulai pembuatan spanduk sampai perobekan spanduk di perusahaan. Dan, Mbak Marsinah selalu menyuarakan orasinya minta hak kita itu diberikan. Uang makan, transport, kerja shift sore, ” ucap wanita 43 th. itu.
Saat perobekan spanduk, situasi memanas. Uus dan buruh yang lain yang lakukan tindakan mendapatkan kekerasan dari aparat Koramil dan Kodim setempat. Satu hal yang lazim di masa Orde Baru, tentara turut mengamankan demonstrasi di perusahaan.
“Ada sekitar 500 buruh yang melakukan tindakan unjukrasa, mendadak dipukul oleh aparat Koramil dengan kayu. Namun, kami waktu itu selalu melawan, dan Mbak Marsinah selalu berteriak dengan kencang, supaya tidak takut dan selalu maju, ” tutur ibu dua anak itu.
Perlawanan selalu dilakukan buruh, pada akhirnya terwujud dan direalisasi oleh perusahaan, tuntutan buruh dikabulkan. Merekapun tak melakukan aksi lagi.
“Karena telah terwujud, tindakan kami berhenti. Namun, kami masih lakukan pertemuan kecil saja, ” ucapnya.
Tim kecil itu rupanya selalu diawasi Kodim setempat. 13 Orang buruh dipaksa tidak untuk lagi aktif memimpin demonstrasi. Marsinah mendatangi Kodim tanggal 5 Mei 1993 untuk mencari tahu keberadaan kawan-kawannya.
Itulah terakhir kalinya Marsinah terlihat. Malamnya tidak ada lagi yang pernah melihat Marsinah. Tanggal 8 Mei dia ditemukan sudah jadi jenazah. Mayatnya diketemukan di hutan Dusun Jegong, Desa Wlangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Keadaannya begitu menyedihkan. Semula dokter menganggap kema luan Marsinah ditusuk dengan kayu. Tetapi ahli Forensik (alm) Munim Idris membantahnya.
“Luka Marsinah hanya di sekitar labia minora sebesar 3 sentimeter, ” tutur Mun’im. Luka itu bukan karena benda tumpul tetapi peluru yang ditembakkan, ” kata Munim Idris.
Marsinah dibunuh. Raganya tewas. Tetapi namanya diabadikan sebagai martir perjuangan buruh di Indonesia.
Sumber : Merdeka. com